Dalam sidang pengucapan putusan Nomor 155/PUU-XXI/2023 (Rabu, 31/01/2024), Mahkamah Konstitiusi (MK) menolak permohonan terkait pemisahan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Permohonan tersebut diajukan oleh Sangap Tua Ritonga. Pemohon menguji Pasal 5 ayat (2), Pasal 6, Pasal 15 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara) dan norma Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU KN).
Dikutip dari berita yang disiarkan MK, pada saat sidang pendahuluan (Selasa 12/12/2023), pemohon mengatakan Direktorat Jenderal Pajak menyosialisasikan slogan Kemenkeu “SATU” sejak 2022. Nomenklatur keuangan dan nomenklatur pajak yang campur aduk menimbulkan ketidakpastian hukum.
Bagi pemohon, hal ini mempengaruhi interaksi Pemohon dalam melaksanakan pelayanan klien Pemohon. Saat ini fungsi treasury dan fungsi pembuat kebijakan pajak dan administrasi pajak yang menjadi satu komando. Hal ini dapat menimbulkan adanya target pajak yang naik tanpa didasari oleh dasar perhitungan kenaikan yang didasarkan gap potensi pajak, yang pada akhirnya mengakibatkan peningkatan beban bagi wajib pajak.
Dalam dalilnya, pemohon menyatakan pemisahan dapat mengurangi kewenangan berlebih Kementerian Keuangan karena terdapat pemisahan kewenangan penerimaan negara dan perbendaharaan negara. Selain itu, pemisahan ini juga dapat meningkatkan akuntabilitas, meningkatkan pengawasan, dan mengurangi potensi conflict of interest.
Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyatakan hal tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang sebagaimana dimuat dalam ketentuan Pasal 17 ayat (4) dan Pasal 23A UUD 1945. Hal dimaksud sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada maupun sesuai dengan perkembangan ruang lingkup urusan pemerintahan, atau dapat pula melalui upaya legislative review.
Daniel menyebutkan, terkait dengan pembentukan kementerian negara serta ketentuan mengenai pajak yang diatur dalam undang-undang, justru menggambarkan telah berjalannya mekanisme checks and balances terhadap kekuasaan negara.
Bagi Mahkamah, sepanjang norma tersebut tidak bertentangan secara nyata dengan UUD 1945, tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, serta tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, dan apalagi merupakan mandat dari rumusan norma pasal UUD 1945 maka, tidak ada alasan bagi Mahkamah untuk membatalkan atau memaknai norma pada pasal-pasal yang diuji oleh pemohon.
“Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan penempatan DJP sebagai subordinasi atau di bawah Kementerian Keuangan sebagaimana dimuat dalam norma Pasal 5 ayat (2), Pasal 6, Pasal 15 UU 39/2008 dan norma Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) huruf a UU 17/2003 bertentangan dengan UUD 1945, sehingga adanya kepentingan untuk membentuk lembaga khusus setingkat kementerian yang memiliki otoritas memungut pajak/pendapatan negara terpisah dari Kementerian Keuangan adalah tidak beralasan menurut hukum,” kata Daniel, dikutip dari siaran berita MK.